DI BIS PERJALANAN
PULANG
Kami adalah
rekan satu angkatan yang saling mengenal, yang baru saja menyelesaikan suatu
praktek lapangan di Kabupaten Seragen. Aku tidak bercerita tentang kami atau
praktek lapangan, melainkan tentang perjalanan pulang disaat aku berada
diantara rombongan bis. Dimana perjalanan Dari Seragen – Jatinangor melumat
waktu hingga sampai 15 jam lamanya.
Kami berangkat
tepat jam 12 tengah hari, cuaca yang lumayan panas pada saat itu. Di awal
perjalanan aku duduk di deretan tengah sebelah kiri bagian bis, bersama dua
orang teman. Suasana dalam bis pengap akan keributan. Ada yang bernyanyi sambil
teriak, dan ada yang bertepuk tangan sambil bernyanyi gak karuan. Bahkan ada
yang bernyanyi “na..na..na.., la..la..la..” karna gak hafal liriknya. Tetapi
keributan itu tidak berlangsung lama, lagu yang bisa dibilang aliran keras itu
akhirnya berganti menjadi lagu tembang kenangan pengantar tidur. Yah, efeknya
pun berhasil membiusku untuk terlelap dengan sekejap.
Sore semakin
senja, rasa lapar yang berperang dalam perut mebangkitkanku dari tidur. Dengan
sengaja aku pindah kebangku depan yang kebetulan kosong. Demi mencari sedikit
makanan agar bisa mendamaikan rasa lapar ini. Kali ini aku duduk bersebelahan
dengan seorang wanita yang sekelompok denganku di praktek lapangan. Aku pun
meminta sebungkus roti dari nya. Setidak nya itu bisa menunda sampai bis ini
berhenti dan istirahat sejenak. Ia, wanita yang aku mintai roti tadi termasuk
tipe orang yang aku kagumi. Ia penuh
dengan kelembutan, marah pun untuk sesaat. Terkadang ia tertutup bagai misteri,
entah bahagia atau kesedihan yang dialami.
“Da, kalo haus..
itu ada air minum”. Ia mengejutkanku dari lamunan.
“Oh, makasi ee”.
Aku menjawab sambil mengunyah roti yang berisikan coklat. Lalu ia mengambil air
minum dan menyuguhkannya kepadaku.
“Nih diminum!
Haus toh?”
“Iya, di mulut
aja belum habis”. Aku menjawab, dan mengambil botol yang berisikan air minum
dari genggamannya. Setelah roti tertelan habis begitu juga denagn air minum,
aku rebahkan tubuhku ke sandaran bangku.
“Ahhh, akhirnya
lega juga”.Ia yang mendengar seruanku, lalu terwa kecil.
“Da, pinjam
bahunya ya?” .Ia langsung menyandarkan kepalanya kebahuku, seolah aku sudah
menyetujuinya. Aku yang terdiam oleh pertanyaan nya tadi hanya tertegun heran. Dan
berkakata dalam hati “Iya”. Hanya
dengan hitungan menit ia telah tertidur di pundak ku. Entah apa yang aku
rasakan, semuanya bercampur aduk dalam pertanyaan dan keraguan. “Apakah ia menyukaiku?”. Aku tenggelam dalam
lamunan yang akhirnya membuatku tertidur untuk kedua kalinya.
Suara rem
melengking bertanda bis berhenti pada tempat untuk beristirahat. Semua orang di
dalam bis terbangun begitu juga dengan kami berdua. Aku mebuang pandangan ke
luar jendela bis, yang ternyata langit malam telah menyelimuti perjalanan kami
semua.
“Uda!!?, uda g
turun? Dah sepi ni..” Tanya nya.
“Ehh.. iya..”
Aku linglung melihat seisi bis tinggal beberapa orang saja.
“Mau makan
dimana da?”
“Blom tau nih..
Kmu mau makan dimana?” Kembali aku lontarkan pertanyaan yang ia berikan
kepadaku.
“Hmmm kayaknya
disebelah sana, ya udah klo gitu adek duluan ya da” Ia kemudian turun dari bis,
lalu berjalan menuju warung makanan yang ia tunjuk tadi. Aku perlahan keluar
dari bis sambil mengumpulkan nyawa yang hampir penuh. Mencari tempat makan yang
sesuai dengan ukuran dompet, tak lupa aku membeli obat untuk penghilang suntuk.
Nama kerennya disebut rokok, selama ini hanya itu yang bisa menemaniku ketika
bosan dan melepas suntuk.
Setelah setengah
jam berlalu, bis yang mengarah pulang melanjutkan perjalanan.
Malam yang
semakin larut, suasana bis saat ini sangat berbeda dari awal perjalanan. Kini
kesunyian telah meluap, dan kehampaan telah menghantui jiwa – jiwa yang ceria.
Aku yang tidak langsung mencari tempat duduk, hanya berdiri di sudut belakang
bis. Dan aku sulut api dari sebatang rokok yang tadi aku beli. Yah, kondisiku
pada saat itu bukan lagi bosan atau pun suntuk. Melainkan memikrikan tentang
pertanyaan dan keraguan yang menlandaku tadi sore. Aku hisap semua kebelenguan
dengan satu tarikan nafas, lalu aku keluarkan perlahan bersama asap yang
mengepul dari hidung dan mulutku. Ketenangan mulai aku dapatkan setelah
beberapa batang aku habiskan.
Ia, wanita yang
aku kagumi itu sedang duduk dibangku bagian tengah sebelah kanan bis. Hanya
berjarak 2 meter dari tempat aku berdiri. Aku yang melihatnya dari belakang, ia
seperti menunggu seorang yang ingin duduk disampingnya. “siapa?” Apakah aku?”. Pertanyaan demi pertanyaan mulai terbesit di
benakku. Dilema yang baru muncul ini aku akhiri dengan keberanianku untuk duduk
disampingnya. Perlahan aku melangkah mendekatinya, lalu aku duduk disampingnya.
“Ehh.. ada uda”.
Ia menyambutku dengan senyuman manisnya. Akupun membalas dengan senyuman dan
bertanya.
“Boleh g’ uda
duduk disini?”. Dengan cepat ia menjawab.
“Ya, boleh lah”.
Sejenak kami berdua hanya terdiam tanpa kata. Hanya suara bis yang melaju
kencang, bersama musik lawas bervolume pelan yang diputar oleh supir bis.
“Da, adek ga’
bisa tidur”
“Tinggal tutup
mata aja, apa susah nya” Jawabku.
“Udah da, tapi g
bisa” Ia, membantah dengan raut cemburut.
“Mau uda pijitin
kepala kamu biar cepat tidur?”
“Hmm boleh juga
tu” Dengan senagnya ia menerima tawaranku. Aku pun memainkan para jemari tangan
kiriku di atas ubun – ubunnya. Berusaha
selembut mungkin untuk memijit kepalanya, agar rasa kantuk segera ia dapatkan.
“Gimana?? Udah
ngatuk? Cetusku sambil menatap wajahnya.
“Dikit lagi da”
Dalam hitungan
detik ada beban yang telah menimpa dadaku, dengan cepat aliran darahku melaju
begitu kencang keseluruh tubuh. Seakan jantungku berdebar tak berirama. Ini
yang kedua kalinya ia menyandarkan kepalanya di badanku, tapi bukan di bahu
melainkan tepat didadaku. Seakan ia telah meminta dan aku menyetujuinya. Aku
tak dapat lagi berkata – kata walau dalam hati. Sulit bagiku untuk menjelaskan
sensasinya. “Damai” itu yang dapat aku simpulkan dari kisah kasih ini. Dengan
perlahan aku memindahkan tanganku dari kepalanya ke tepian jendela bis yang
sudah terbuka sebelumnya. Angin malam terasa menusuk – nusuk kulit tangan ku, sehingga
aku putuskan untuk menutup jendela bis tersebut, “aku g’ mau dia kedinginan” .
Lalu aku jatuhkan tanganku ini disisi bangku yang tersisa tepat berada
disamping tangannya. Angin malam yang menerpa tanganku tadi masih berbekas
dan sedikit menyentuh tangannya.
Kembali
pertanyaan – pertanyan melintas dipikiranku. Apa yang terjadi dari sore hingga
malam ini benar – benar kenyataan? Kalau iya, apa maksud dari semua ini? Apakah
dia menyukaiku? Atau hanya sekedar… Tiba – tiba pertanyaan itu berhenti
melintasi pikiranku. Ternyata ada kehangatan fase ke 2 yang menyelimuti telapak tanganku. Semua pertanyaan tadi
langsung terjawab seketika dengan eratnya ia menggenggam tanganku. Aku pun
membalas genggamannya penuh dengan kehangatan.
CERITA INI DIANKAT
DARI KISAH NYATA
SUMBER CERITA DARI
SEORANG KAWAN
eMPe
No comments:
Post a Comment