Tuesday 4 April 2017

Pada Karenina Detisha - Cerita HEPI elevenia

Pada Karenina Detisha


1 Januari 2017

Setelah perjalanan sejauh dua ratus lima kilometer dari Barat Padang aku menjelajah. Dan tidak cukup sampai disana, butuh waktu hingga sepuluh jam lebih untuk bisa sampai di tempat ini. Tempat dimana aku bisa mengenangmu, Sayang. Selama yang aku mau, sesanggup yang otakku bisa.

Karenina, ini adalah kunjunganku pertama kali menuju Danau Kaca. Menuju kota Jambi yang sebelumnya tidak pernah aku kunjungi. Entahlah, entah apa yang membawa sepasang kakiku menuju tempat ini. Entah untuk membunuh kerinduanku kepadamu atau justru untuk semakin membakar rasa cintaku yang semakin berkobar-kobar kepadamu. Cinta yang sulit sekali padam. Tidak pernah padam! Sejak kali pertama pertemuan kita tujuh tahun lalu.



Karenina, disini begitu sejuk. Cuacanya cukup sendu untuk mengingat-ingat tentang kau, soal kita. Tentang bagaimana mimpi-mimpi kita dahulu. Bagaimana kau dengan segala jenis foto landscape dan potrait, dan bagaimana aku dengan segala aturan notasi balok dan garis birama. Tapi yang paling menyenangkan bagiku adalah ketika kita membahas siapa nanti yang akan memasak atau membetulkan atap rumah. Sudah tentu kau yang mengurus rumah dan aku yang pergi bekerja. Jangan konyol! Tapi kau selalu tertawa ketika kita membahas hal yang tidak lebih penting itu dibandingkan membicarakan tabungan dan soal lamaran pekerjaan dan resepsi pernikahan. Enam tahun lalu, aku belum paham kenapa kau tidak pernah suka membahas hal yang serius mengenai pernikahan. Namun setidaknya kebodohanku itu tidak berlangsung lama melebihi tahun 2012. Aku pernah tahu sebuah kalimat jika kau ingin membuat seorang perempuan jatuh cinta kepadamu maka kau harus membuatnya sesering mungkin tertawa. Namun setiap kali kau tertawa, justru aku yang semakin jatuh cinta kepadamu. Kau sungguh benar-benar tidak adil.

Karenina, perempuan yang aku pikir adalah cerminan diriku. Tepat di pinggiran Danau Kaca aku menuliskan ini. Melihat permukaan yang kebiruan dan akan bersinar malam nanti. Kemudian aku teringat kepada kau, teringat pada ibu. Mitosnya disini belum ada seorang pun yang sanggup menyelam hingga dasar terdalam bahkan dibantu oleh tabung oksigen sekalipun. Danau ini tak terukur, tak terbatas. Danau kecil yang tidak lebih dari 30 X 30 meter persegi ini, tak terhingga dalamnya, Sayangku. Seperti hatimu, seperti cintamu kepada aku, seperti milik ibuku. Sejujurnya, aku sudah lupa bagaimana aku bisa mencintaimu dengan sehebat ini. Belum sehebat cintaku kepada ibuku memang, tapi kau lawan yang cukup seimbang untuk ibu. Aku hanya ingat bahwa kau adalah perempuan yang tidak mudah aku rayu, dengan lagu-lagu ciptaanku, dengan puisi-puisi picisanku, bahkan dengan segudang bentuk perhatian. Kau yang aku ingat, tidak mudah luluh.

Karenina, kehidupanku. Bukan aku sentimentil terhadap rinduku kepadamu. Bahkan rasanya ini terdengar begitu drama jika aku merindukanmu layaknya remaja galau mengingat umurku yang sudah genap 27 tahun. Namun, sudah pasti kau tahu bukan kalau memang aku yang paling bersungguh-sungguh dalam memujamu, dan yang paling khidmat dalam persoalan mengenangmu? Aku pikir ini cukup seimbang mengingat bagaimana cinta-kasihmu padaku kala itu. Aku tidak bisa memastikan bahwa kau satu-satunya yang terbaik, tapi kau hadir ketika aku berada tepat pada titik terbawah dalam hidupku. Kau datang membawa semangat baru, kau datang dengan segudang mimpi-mimpi baru, dan kau tidak pernah sekalipun meninggalkanku. Mungkin oleh sebab itulah aku sulit untuk tidak mencintaimu waktu itu. Bahkan bukan hanya aku, ibuku pun mencintaimu lebih dari yang kita pikirkan. Bagaimana dulu aku lihat kegugupanmu ketika pertama kali hendak berjumpa dengan beliau. Kau dengan segudang cemas dan gugup, aku dengan seribu tawa dan mantera-mantera untuk menghilangkan ketakutanmu. Terakhir aku dengar, kalau ibu merindukanmu. Ibu merindukan saling bercerita sambil menghabiskan waktu seharian di salon bersama kau dan Lara. Bahkan juga Lara pernah bilang bahwa mungkin kau adalah kakak yang paling diidam-idamkannya untuk menjadi anggota keluarga baru kami. Ya, kau tahu pasti bukan?

Karenina, malaikatku. Kau selalu jengah jika kau aku anggap sebagai malaikat, bukan? Tapi kau memang mirip sekali dengan ibu. Perempuan yang aku pikir satu-satunya jelmaan malaikat sebelum kehadiranmu. Dengan memiliki kau dan ibu saja, aku pikir cukup untuk tidak lagi menerima cinta dari perempuan lain manapun. Cukup untuk menggantikan seribu malaikat Tuhan. Cukup kau dan ibuku saja! Aku sudah merasa memiliki semesta.

Karenina, kerinduanku. Maaf jika aku selalu lupa membereskan rindu yang berserakan di kamarku setiap pagi. Sudah bertahun-tahun aku berusaha melenyapkan engkau dari tiap pejam dan pikiran. Sudah beribu-ribu mantera aku rapalkan demi membinasakan engkau. Namun kau selalu datang setiap Subuh, disetiap embun datang menuntaskan kerinduan pada daun dan kelopak bunga sedap malam. Mata cokelat milikmu dengan hidung mancung dan sedikit lesung pipi kecil didekat tulang pipimu itu adalah yang paling aku ingat. Tempat aku melabuhkan segalanya, rumah!

Karenina, kesalahanku. Sudah tentu kau tahu pasti bahwa aku adalah orang yang dulunya paling gemar mengolok kalimat bijak, 'Aku akan membuatmu bahagia, sekalipun untuk merelakanmu dibahagiakan oleh lelaki lain.'. Kau tahu bukan kalau dulu aku menganggap itu hanyalah kalimat bohong. Bahagia melihat orang terkasih dengan orang lain? Pertanyaan retoris yang tak perlu aku cari jawabannya. Kebohongan belaka. Hanya kalimat tipuan semata! Tapi ketika aku meninggalkanmu, aku sampai pada tahap itu, Sayang. Melepaskan engkau dikarenakan kesalahanku sendiri. Ketidaksanggupanku! Ketakutanku yang tidak bisa menjanjikan masa depan sebaik yang seperti ayahmu lakukan selama ini. Sulit membekukan hatiku saat itu agar tidak larung pada air matamu. Sulit untuk membuat hatiku kebas ketika kau tetap berusaha mati-matian meyakinkanku bahwa kita pasti bisa mewujudkan cita-cita kita hidup bersama. Sakit ketika aku dengar kau akan mengulur waktu kepada ayahmu hanya untuk demi memberikan aku lebih banyak waktu sampai aku siap meminangmu. Sejujurnya aku hanyut, tidak akan banyak perempuan yang akan melakukan hal serupa seperti yang kau lakukan kepadaku. Tapi, kau sudah terlalu banyak mengorbankan sesuatu demi aku, Sayang. Dan aku sudah tidak sanggup lagi menerimanya. Cintaku kepadamu lebih besar dari dogma dan sekedar ego untuk memilikimu seutuhnya.

Karenina, kenanganku. Maaf jika kau masih menyimpan rasa iba dari kala perpisahan kita. Kini sudah lima tahun cintaku berubah bentuk. Seperti cintaku kepada ibuku. Aku telah sampai pada level mencintaimu secara diam-diam. Cinta yang aku sampaikan hanya lewat munajat, cinta disetiap do'a di akhir sujud shalat, cinta lewat tangan yang menengadah, di atas sajadah. Hampir disetiap malam, tanpa pernah padam.

Karenina, duniaku. Dari ketinggian seribu dua ratus delapan puluh sembilan meter dari permukaan laut, aku luapkan kau kepada langit dan hujan. Agar suaraku sampai menuju langit, sampai kepada Tuhan.


3 April 2017

Karenina, do'a-do'aku. Kali ini sudah pukul tiga dini hari. Kawanku membujuk agar aku mau membagikan rinduku terhadapmu kepada orang lain. Sementara kau tahu sudah bahwa setelah perpisahan kita, aku hanya menceritakan tentang kau kepada Tuhan dan kepada sajak berbarisan yang murahan ini. Tapi, kali ini aku tergoda, Sayangku. Aku harap kau tidak marah jika aku memamerkan kau kembali lewat paragraf-paragrafku. Kawanku pun berkata, jika aku masih diperbolehkan untuk memberikan engkau sebuah bingkisan, aku hendak akan memberikan apa. Dan sejujurnya aku pun cukup kehilangan akal untuk menentukan mengingat kau barangkali memang sudah tak membutuhkan sesuatu apapun lagi dari diriku. Namun, jika aku diperkenankan, aku ingin sekali menghadiahimu sebuah kamera, memberikan sesuatu yang selama ini dekat dengan kesenangan dan duniamu.

Karenina, segalaku. Terima kasih telah pernah menjadi harapanku. Terima kasih sudah menjadi terang di hatiku. Terima kasih sudah pernah mengizinkan aku mencintaimu sedemikian dalam. Terima kasih sudah mencintai aku dan ibu. Terima kasih untuk dua tahun itu. Terima kasih karena kesetiaanmu di dalam pikiranku. Terima kasih, Karenina!