DIMENSI
PERUBAHAN
|
UNDANG
UNDANG
NOMOR
22 TAHUN 1999
|
STRUKTURAL
|
1. UU No. 22 Tahun 1999 Mengatur
tentang Pemerintahan.
Terjadi perubahan struktural dimana Undang-Undang sebelumnya mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
2. UU No. 22 Tahun 1999 memiliki 16 Bab
dan 134 Pasal, Disini Terjadi Perubahan Struktural dimana Undang-Undang yang
sebelumnya hanya memiliki 8 Bab dan 94 pasal.
3. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kedudukan
DPRD kuat dan Kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD sedangkan pada
Undang Undang Sebelumnya Dominasi kekuasaan dipegang oleh kepala daerah dan
DPRD dikontrol oleh kepala daerah
4. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Pemerintah
Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD
bukan unsur pemerintah daerah sedangkan pada Undang-Undang sebelumnya DPRD
termasuk dalam Pemerintah Daerah
5. Tidak menggunakan struktur dan
sistem pemerintahan daerah yang bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang
lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak
diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya sedangkan Undang
Undang Sebelumnya struktur Pemerintahan
daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai
Daerah Otonom, dan kemudian Wilayah Administatif berupa Propinsi, Kabupaten/Kotamadya,
dan Kecamatan
6. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kepala Daerah
sebagai alat daerah sedangkan Pada Undang Undang yang sebelumnya Kepala
daerah sebagai Alat Pusat dan juga Alat daerah
|
FUNGSIONAL
|
1. UU No. 22 Tahun 1999 memusatkan pada
Desentralisasi sedangkan Undang Undang Sebelumnya mengatur tentang
Dekonsentrasi dan Desentralisai
|
KULTURAL
|
1. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD sedangkan pada Undang Undang
sebelumnya Kepala Daerah memang dipilih oleh DPRD namun Wakil Kepala Daerah
Tanpa Pemilihan
2. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 selain
bersifat nyata dan bertanggung jawab, Otonominya juga bersifat Luas sedangkan
pada Undang Undang sebelumnya Otonominya hanya bersifat nyata dan bertanggung
jawab.
3. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kabupaten
dan Kota memiliki otonomi yang utuh
serta Provinsi memiliki otonomi yang terbatas sedangkan pada Undang-Undang
yang sebelumnya Titik berat daerah otonom pada DATI II ataua pada
Kabupaten dan Kota serta untuk DATI I atau pada Provinsi otonomi bersifat utuh
|
Adapun beberapa pertimbangan yang melatar - belakangi mengapa Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 perlu dirubah atau diganti, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Dari perspektif perundang-undangan.
UUD 1945 telah diamandemen, terutama pasal-pasal yang terkait langsung dengan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal - pasal 1, 5, 18, 18A, 18B, 20, 21, 22D, 23E ayat 24 ayat (1), 31 ayat (1), 33 dan 34.
Perlunya penyerasian dan penyelarasan dengan Undang - undang lainnya, yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, diantaranya:
1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
2) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD;
4) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
5) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
6) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan;
7) Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara;
8) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
2. Dari perspektif Konsep.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi, namun tanpa diberikan rambu - rambu yang jelas, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong otonomi daerah. Penyusunan pengaturan perundang - undnagan sebagai tindak lanjut penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga banyak daerah mengambil prakarsa sendiri dalam membuat peraturan daerah dengan wewenang yang diberikan TAP MPR No. IV/2000. Dalam hal itu, belum sinkronnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.
3. Dari perspektif Implementasi.
Dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi, overlapping, redundent dan conflict of interest antar tingkat pemerintahan, sehingga cenderung mengurangi dan mengganggu pelayanan umum. Karena pemberian otonomi yang luas yang tidak terkendali, pembentukan lembaga pemerintahan daerah sering kurang memperhatikan atau kurang berorientasi kepada peningkatan pelayanan masyarakat, sehingga terjadi pembengkakan struktur yang tidak effisien. Sistem pengelolaan kepegawaian yang didasarkan kepada separated system menimbulkan ekses - ekses ethnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier; penetapan APBD lebih banyak berorientasi kepada menutup untuk keperluan aparat daerah dan DPRD daripada untuk keperluan pelayanan publik.
Hubungann kemitraan - sejajaran antara DPRD dan Kepala Daerah, secara operasional kurang berjalan dengan baik, karena dalam prakteknya DPRD sering mendominasi Kepala Daerah, misalnya dalam Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD sering dipergunakan sebagai ajang politik untuk menjatuhkan Kepala Daerah dan bukan untuk menilai performance Kepala Daerah menurut ukuran Renstra, atau bahkan sering dijadikan ajang “politik uang” dalam penerimaan atau penolakan LPJ tersebut. Kerjasama antara DPRD dan Kepala Daerah yang mestinya diarahkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dalam praktek sering dijadikan sebagai praktek “kolusi” atau pertentangan kepentingan yang berlarut - larut yang sudah barang tentu akan menimbulkan “ketidak stabilan” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang pada gilirannya membawa dampak penurunan terhadap pelayanan masyarakat.
Timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, akibat belum memadainya pedoman yang diperlukan dan adanya berbagai perundang - undangan sektoral yang belum disesuaikan, sebagai tindak lanjut Pasal 112 dan 133 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah juga yang mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
No comments:
Post a Comment