Thursday 17 April 2014

Analisis Perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999



DIMENSI PERUBAHAN
UNDANG UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 1999
STRUKTURAL
1.  UU No. 22 Tahun 1999 Mengatur tentang Pemerintahan.
Terjadi perubahan struktural dimana Undang-Undang sebelumnya mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
2.  UU No. 22 Tahun 1999 memiliki 16 Bab dan 134 Pasal, Disini Terjadi Perubahan Struktural dimana Undang-Undang yang sebelumnya hanya memiliki 8 Bab dan 94 pasal.
3.  Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kedudukan DPRD kuat dan Kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD sedangkan pada Undang Undang Sebelumnya Dominasi kekuasaan dipegang oleh kepala daerah dan DPRD dikontrol oleh kepala daerah
4.  Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah sedangkan pada Undang-Undang sebelumnya DPRD termasuk dalam Pemerintah Daerah
5.  Tidak menggunakan struktur dan sistem pemerintahan daerah yang bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya sedangkan Undang Undang Sebelumnya struktur Pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian Wilayah Administatif berupa Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan
6.   Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kepala Daerah sebagai alat daerah sedangkan Pada Undang Undang yang sebelumnya Kepala daerah sebagai Alat Pusat dan juga Alat daerah
FUNGSIONAL
1.  UU No. 22 Tahun 1999 memusatkan pada Desentralisasi sedangkan Undang Undang Sebelumnya mengatur tentang Dekonsentrasi dan Desentralisai
KULTURAL
1.  Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD sedangkan pada Undang Undang sebelumnya Kepala Daerah memang dipilih oleh DPRD namun Wakil Kepala Daerah Tanpa Pemilihan
2.  Dalam UU No. 22 Tahun 1999 selain bersifat nyata dan bertanggung jawab, Otonominya juga bersifat Luas sedangkan pada Undang Undang sebelumnya Otonominya hanya bersifat nyata dan bertanggung jawab.
3.  Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Kabupaten dan Kota memiliki  otonomi yang utuh serta Provinsi memiliki otonomi yang terbatas sedangkan pada Undang-Undang yang sebelumnya Titik  berat daerah otonom pada DATI II ataua pada Kabupaten dan Kota serta untuk DATI I atau pada Provinsi otonomi bersifat utuh



Adapun beberapa pertimbangan yang melatar - belakangi mengapa Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 perlu dirubah atau diganti, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Dari perspektif perundang-undangan.
UUD 1945 telah diamandemen, terutama pasal-pasal yang terkait langsung dengan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal - pasal 1, 5, 18, 18A, 18B, 20, 21, 22D, 23E ayat 24 ayat (1), 31 ayat (1), 33 dan 34.
Perlunya penyerasian dan penyelarasan dengan Undang - undang lainnya, yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, diantaranya:
1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
2) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD;
4) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
5) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
6) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan;
7) Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara;
8) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

2. Dari perspektif Konsep. 
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi, namun tanpa diberikan rambu - rambu yang jelas, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong otonomi daerah. Penyusunan pengaturan perundang - undnagan sebagai tindak lanjut penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga banyak daerah mengambil prakarsa sendiri dalam membuat peraturan daerah dengan wewenang yang diberikan TAP MPR No. IV/2000. Dalam hal itu, belum sinkronnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.

3. Dari perspektif Implementasi.
Dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi, overlapping, redundent dan conflict of interest antar tingkat pemerintahan, sehingga cenderung mengurangi dan mengganggu pelayanan umum. Karena pemberian otonomi yang luas yang tidak terkendali, pembentukan lembaga pemerintahan daerah sering kurang memperhatikan atau kurang berorientasi kepada peningkatan pelayanan masyarakat, sehingga terjadi pembengkakan struktur yang tidak effisien. Sistem pengelolaan kepegawaian yang didasarkan kepada separated system menimbulkan ekses - ekses ethnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier; penetapan APBD lebih banyak berorientasi kepada menutup untuk keperluan aparat daerah dan DPRD daripada untuk keperluan pelayanan publik.
Hubungann kemitraan - sejajaran antara DPRD dan Kepala Daerah, secara operasional kurang berjalan dengan baik, karena dalam prakteknya DPRD sering mendominasi Kepala Daerah, misalnya dalam Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD sering dipergunakan sebagai ajang politik untuk menjatuhkan Kepala Daerah dan bukan untuk menilai performance Kepala Daerah menurut ukuran Renstra, atau bahkan sering dijadikan ajang “politik uang” dalam penerimaan atau penolakan LPJ tersebut. Kerjasama antara DPRD dan Kepala Daerah yang mestinya diarahkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dalam praktek sering dijadikan sebagai praktek “kolusi” atau pertentangan kepentingan yang berlarut - larut yang sudah barang tentu akan menimbulkan “ketidak stabilan” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang pada gilirannya membawa dampak penurunan terhadap pelayanan masyarakat.
Timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, akibat belum memadainya pedoman yang diperlukan dan adanya berbagai perundang - undangan sektoral yang belum disesuaikan, sebagai tindak lanjut Pasal 112 dan 133 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah juga yang mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.


No comments:

Post a Comment